Diet pada Anak Autistik

Ditulis Oleh : Nerissa Febrina 


Sebelum saya menjawab pertanyaan diatas, ada baiknya saya meluruskan pandangan mengenai definisi diet yang menjadi kesalahpahaman umum di masyarakat. Ketika mendengar kata diet, asumsi yang berlaku adalah mengurangi porsi makanan sehari-hari sehingga terhenti dalam keraguan, khususnya bagi orang tua autistik yang menganggap diet akan membuat anak mereka tersiksa dan kekurangan gizi. 

Tentunya tidak demikian, karena hakikat dari diet itu sendiri adalah memberikan nutrisi dengan mengganti jenis makanan yang sesuai dengan kebutuhan tubuh. Dalam konteks autisme, asupan gizi yang diberikan sesuai dengan kondisi yang bisa diterima tubuh anak autistik agar tidak mengganggu metabolime tubuh mereka. Lebih lanjut, diet pada anak autistik bertujuan untuk menghilangkan berbagai bahan kimia, racun dan neurotransmitter yang dilepas pada pencernaan makanan. Ketika makanan yang masuk tidak sesuai dengan kemampuan penyerapan tubuh mereka, makanan tersebut akan bersifat toksik pada otak dan dapat menganggu perilaku individu autistik. Dengan demikian diet sangat penting bagi individu autistik.

“Ah, anak saya diet tidak diet perilakunya sama saja…” 

Bayangkan perumpamaan ini. Ketika kita menuangkan segelas kopi kedalam air sungai yang kotor, apakah kopi itu memberi dampak signifikan bagi sungai? Tentu tidak karena jumlah air sungai yang kotor jauh lebih banyak daripada segelas kopi. Namun ketika kita menuangnya kedalam air sungai yang jernih, tentu akan terlihat jelas perbedaannya. Nah, pencernaan anak autistik ibarat air sungai yang kotor sedangkan segelas kopi adalah makanan yang bersifat ‘racun’. 

Makanan yang Harus Dihindari Anak Autistik 

Ada tiga diet utama pada individu autistik, kasein, gluten dan gula atau lebih dikenal dengan CFGFSH (Casein Free Gluten Free Sugar Free). Diet pada autistik tidak terbatas pada tiga komponen diatas karena kondisi tubuh tiap individu autistik berbeda-beda. Adapula diet phenol, soya, telur, kacang-kacangan, ragi, oxalate, salisilat dsb yang dapat memicu alergi pada tubuh individu autistik, namun kali ini saya akan berfokus pada tiga kategori diatas. 

Kasein adalah protein peptida yang dihasilkan oleh protein susu (sapi,kambing,domba) beserta turunannya (keju, mentega, es krim). Bagi penderita autisme, protein peptida (kasein) tidak bisa dicerna dengan sempurna. Hasil protein yang tidak dapat dicerna sempurna ini kemudian lolos dari usus dan masuk kedalam aliran darah. Ahli menyebutnya dengan usus bocor atau dikenal dengan istilah Leaky Gut Syndrome. Pecahan ini kemudian diserap otak yang dalam jangka pendek juga panjang dapat mengganggu perkembangan otak individu autistik. 

Leaky gut terjadi karena ketidakseimbangan microbiome dalam tubuh. Microbiome adalah semua mikroorganisme (mikrobiota) yang hidup dalam tubuh manusia. Ada ribuan spesies tersebar dalam tubuh manusia dan mikrobiota terbanyak terdapat dalam usus besar usus kecil. Fungsi mikrobiome antara lain mengatur sistem imunitas tubuh, melindungi tubuh dari patogen yang masuk kedalam tubuh melalui konsumsi makanan yang terkontaminasi, mencerna makanan dan memecah senyawa makanan yang bersifat toksik. 

Penyebab ketidakseimbangan microbiome pada anak autistik bisa karena beberapa hal seperti sensitivitas pada antibiotik, racun dalam tubuh, kurangnya asupan serat dan pertumbuhan jamur Candida. Ketika ketidakseimbangan itu terjadi, tubuh anak tidak mampu memproduksi enzim yang mampu memecah gluten dan kasein dengan sempurna. Karena dalam teori Leaky Gut Syndrome disebutkan bahwa usus anak autistik memiliki lubang, pecahan protein yang bersifat toksik tersebut lolos dari usus dan lari menuju otak dan mengakibatkan beberapa gangguan. Pecahan dari protein ini disebut dengan casomorphine. Seperti dengan namanya, casomorphine memiliki kandungan mirip morfin yang bersifat opioid.

Efek dari opioid antara lain; 

* Hiposensitivitas terhadap nyeri (misalnya anak jatuh berdarah tapi sama sekali tidak merasakan sakit)

* Gangguan pola tidur (tidur larut malam)

* Gangguan memori

* Menurunnya kemampuan belajar

* Terjadinya perilaku stereotipik

*Masalah konstipasi dsb 

Protein yang kedua adalah gluten. Pecahan gluten dikenal dengan glutemorphine dan sama halnya dengan casomorphine, pecahan protein ini juga memiliki efek opioid. Gluten adalah salah satu jenis protein yang terkandung dalam biji-bijian seperti gandum, barley, oat, wheat. Selain itu, gluten juga ditemukan di beberapa jenis makanan olahan seperti mie, pasta, roti dan sereal. Gluten juga digunakan pada produk non makanan seperti pasta gigi dan kosmetik. 

Komponen terakhir yang sebaiknya tidak konsumsi individu autistik adalah gula. Diet gula pada autisi berarti tidak mengkonsumsi gula murni atau olahannya seperti gula pasir, gula aren (termasuk gula jawa dan kelapa), sirup, permen, madu, kurma bahkan gula hasil proses dari buah seperti fruktosa dan laktosa. Sisa-sisa gula dalam saluran pencernaan yang tidak terserap pada tubuh anak autistik menjadi pupuk bagi jamur. Jamur yang tumbuh berlebihan dapat merusak dinding usus yang kemudian menjadi leaky gut syndrome seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya. 

Anak yang mengkonsumsi kasein, gluten serta gula biasanya menampakkan gejala autisme yang lebih nyata daripada yang menghindarinya. Meskipun ada banyak aspek penunjang kesembuhan individu autistik, penerapan diet CFGFSF merupakan salah satu kunci penting keberhasilan dalam usaha penyembuhan autisme. Individu autistik yang tidak mengkonsumsi zat-zat tersebut umumnya jauh lebih jarang menemui masalah terkait autisme seperti gangguan konstipasi, perilaku bankan gangguan sensori seperti stimming, flapping dan lain sebagainya. 

Comments

Popular posts from this blog

Tentang Diet Special Needs by Ummubebek